PASUNDAN POST ■ JAKARTA - Anggota DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto mengemukakan masa jabatan Kepala Desa (Kades) tetap saja enam tahun. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIX/2021.
“Ikuti putusan MK saja. Putusan MK pasti sudah sesuai konstitusi. Karena tugas MK menguji setiap aturan agar sesuai konstitusi,” kata Abraham dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Arah Perubahaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa” di Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang, Provinsi NTT, hari ini.
FGD digelar oleh Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI. Badan Keahlian DPR RI ingin mendapatkan masukan dari perguruan tinggi terkait revisi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang saat ini dibahas DPR RI. Abraham tampil sebagai keynote speaker dalam acara tersebut karena jabatannya sebagai anggota DPD RI dan juga pemilik UCB Kupang.
Abraham mengutip putusan MK terkait masa jabatan Kades. Dalam putusannya, MK menyatakan Kades yang sudah menjabat satu periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat dua periode.
Putusan lanjutannya adalah bagi kepala desa yang sudah menjabat dua periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat satu periode.
“Ini sudah sesuai Pasal 39 dari UU Desa yang ada sekarang. Ayat 1 menyatakan Kepala Desa memegang jabatan selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Sementara Ayat 2 menyatakan Kepala Desa dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Jadi, tidak perlu diubah lagi,” saran Abraham.
Anggota Komite I DPD RI ini tidak setuju perpanjangan masa jabatan Kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Alasannya, jika ditambah menjadi 9 tahun, dikuatirkan praktik korupsi di desa-desa yang terjadi selama ini akan terus berlanjut.
Selain itu, diskursus perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak sesuai dengan semangat pembatasan kekuasaan yang diturunkan dari konstitusi. Pembatasan jabatan ini pun menjadi konsen MK dalam putusannya.
“Sikap saya didasarkan pada pertimbangan MK. Dalam putusannya, MK menyasar pada dua aspek, yaitu regenerasi kepemimpinan dan antisipasi penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, ide perpanjangan masa jabatan Kades menghambat proses regenerasi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan,” ujar mantan Ketua Kadin Provinsi NTT ini.
Terkait wacana menambah pendapatan desa, anggota Komite I DPD RI ini setuju ada Dana Alokasi Khusus (DAK) Desa. DAK Desa untuk menambah Dana Desa yang diterima tiap desa melalui Transfer Daerah.
Meski demikian, dia mendorong agar Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) lebih diberdayakan untuk meningkatkan pendapatan desa. Dari hasil pengamatan ke desa-desa, Bumdes lebih banyak dibentuk hanya menghabiskan dana desa. Hampir semua Bumdes yang dibentuk tidak memiliki managemen profesional yang bisa menghasilkan dana tambahan bagi desa.
Sebagai contoh, Bumdes yang ada di NTT, mungkin hanya 10 persen yang memiliki kegiatan. Sementara 90 persen sisanya, tidak jelas karena tidak ada kegiatan serta tidak ada laporan keuangan.
“Ini perlu perbaikan kedepan,” tegas Abraham.
Dia juga meminta ada kerjasama kalaboratif antara Pemerintah Desa dan Pemerintah Kabupaten dengan Perguruan Tinggi dalam mengelola dana desa. Kerjasama juga harus dilakukan dengan dunia usaha. Hal itu agar pengelolaan dana desa benar-benar bermanfaat untuk kemajuan desa.
Masukan lain dari Abraham terkait revisi UU Desa adalah masalah kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Dia berharap Musrenbangdes dilakukan berdasarkan riset terhadap berbagai potensi sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia dalam satu desa. Tujuannya, agar program yang dikerjakan bukan subyektivitas dari Kades tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakat.
“Selama ini, kegiatan Musrenbangdes suka-suka Kades saja. Program yang dilakukan suka-suka juga. Bukan permintaan masyarakat. Akibatnya, dana desa tidak efektif untuk kemajuan desa,” jelas Abraham.
Hal lain yang diusulkan adalah terkait keberadaan pendamping desa. Abraham merasa aneh karena camat, bupati hingga gubernur tidak bisa tegur pendamping desa karena mereka bertanggung jawab langsung ke kementerian desa. Padahal pendamping desa ada di wilayah yang dipimpin camat, bupati maupun gubernur.
“Ini perlu perbaikan kedepan supaya pemilik wilayah di bawah bisa tegur pendamping desa jika ada kesalahan,” tutup Abraham. (hms/R-01)