Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Di konstitusi kita, oposisi tidak dikenal. Namun, oposisi sudah jadi fakta politik. Rakyat familier dengan istilah oposisi. Terutama pasca pilpres 2019.
Meski tak ada di konstitusi, oposisi bukan anak haram. Kehadirannya diperlukan. Sebagai check and balance dan sparing partner bagi penguasa. Apalagi di tengah demokrasi dalam keadaan pesakitan.
Ketika parlemen sering teriak "amiiin" terhadap kebijakan pemerintah, disitulah demokrasi sudah berada di depan pintu pemakaman. Fungsi kontrol terisolasi, dan tugas legislasi sarat negosiasi, apalagi budgeting. Aku tahu yang kau mau!
Sebagai pilar demokrasi keempat, pers telah mengingatkan. Tapi, ramai-ramai dibully. Dikorek kesalahannya, dan dicari aibnya. Najwa Shihab terpaksa jadi salah satu korbannya. "Buzzer premium" pun ikut serbu Najwa. Meriah!
Di sisi lain, parlemen justru nampak mesra dengan istana. Diantara kemesraan itu terlihat ketika mereka membahas UU KPK, RUU Omnibus law, dan Perppu Covid-19. Parlemen dan eksekutif kelihatan khusu' berjama'ah. Keduanya tampak kompak. Enak dilihat. Bikin rakyat leyer-leyer...lalu ngantuk dan tertidur.
Saat rakyat lelap dibuai janji indah pemilu yang tak tertunaikan dan mandulnya fungsi kontrol parlemen, maka lahirnya para tokoh oposisi. Para tokoh ini hadir untuk mengisi "ruang kritik" yang seringkali ditinggalkan oleh Bapak-Ibu Dewan Yang Terhormat.
Setidaknya ada sembilan orang yang "didaulat" rakyat untuk memimpin oposisi. Mereka bangunkan rakyat dari tidur leyer-leyernya. Para tokoh ini membawa kentongan dan beteriak: "negara tidak aman, dan terjadi banyak perampokan". Karena itu, jangan tidur. Ayuk bangun...bangun... bangun.. Teriak para tokoh oposisi itu.
Siapa sembilan orang itu?
Pertama, Abdullah Hehamahua. Mantan penasehat KPK ini berang ketika KPK masuk keranda kematian. Ini yang membuat festival di pasar korupsi makin meriah. Apalagi muncul Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang membebaskan penggunaan uang tanpa bisa dituntut oleh hukum, baik pidana, perdata maupun TUN. Gak ada niat, itu dalihnya. Selain menyoal RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dianggap berusaha menghapus jejak pemberontakan PKI.
Kedua, M.H. Ainun Najib (Cak Nun). Budayawan era Orde Baru ini keluar dari pertapaannya. Hatinya terguncang ketika melihat bangsa ini dijadikan boneka asing. Ngono yo ngono, tapi ojo keterlaluan olehmu injak-injak bangsaku iki, marahnya.
Ketiga, Habib Rizieq Shihab (HRS). Tokoh 212 ini konsisten memimpin gerakan oposisi. Ia teriak terhadap ketidakadilan, penjualan aset negara dan ancaman PKI. Tiga hal ini yang membuat HRS tak bisa kompromi, meski tiga tas isi $ pernah disodorkan padanya. Begitu kabar beritanya. Benar tidaknya, Allah A'lam. Namanya juga kabar.
Keempat, Prof. Dr. Din Syamsudin. Mantan ketua MUI ini tak berhenti teriak terhadap mental koruptif para pengelola negeri ini. Ia serius mengangkat isu korupsi sebagai masalah sentral. Baginya, bangsa ini makin berantakan karena korupsi yang makin telanjang.
Kelima, Rocky Gerung. Tokoh satu ini lebih tepat disebut filosof, dari pada pengamat politik. Kekayaan referensi memberi modal Rocky Gerung piawai membongkar kedunguan logika berpikir elit politik. Membaca analisis Rocky Gerung kita seolah ditunjukkan adanya banyak penyesatan cara berpikir yang pada akhirnya membuat tata kelola negara ini menjadi keliru dan salah arah. Amburadul!
Keenam, Rizal Ramli. Mantan Menteri di era Gus Dur dan Jokowi ini tak pernah berhenti mengkritisi kebijakan ekonomi Sri Mulyani. Bahaya! Kata Rizal Ramli. Ia berulangkali mengingatkan adanya bubble ekonomi. Tampak bagus di luar, bobrok di dalam. Gagal bayar utang, daya beli rakyat anjlok, dan pendapatan petani menurun akan mengancam krisis ekonomi di Indonesia.
Ketujuh, Refly Harun. Pakar hukum tata negara ini telah mempertaruhkan jabatannya sebagai Komisaris Utama PT. Pelindo I. Ini soal integritas. Jabatan dan gaji besar yang diberikan pemerintah tak mampu membendung idealismenya.
Tokoh asal Palembang ini tak pernah berhenti menyuarakan berbagai manipulasi hukum untuk mengeruk kekayaan di negeri +62 ini. Risikonya: iapun dipecat! Bahkan diancam akan dibongkar kesalahannya. Takutkah? Tidak! Katanya. Punya nyali juga rupanya.
Kedelapan, Said Didu. Tokoh satu ini sekarang lagi menghadapi proses hukum. Kritik pedasnya terkait "nikmatnya project" ternyata membuat marah Si Opung. Said Didu emoh minta maaf, dan dilaporkan ke polisi. Kritik kok suruh minta maaf ya?
Kesembilan, K.H. Najih Maemoen Zubair. Kritiknya terhadap bahaya kebangkitan komunisme di Indonesia sangat tajam. Baik dalam ceramah maupun berbagai tulisan. Putra K. H. Maemoen Zubair ini terus mengingatkan rakyat untuk tetap waspada atas potensi bangkitnya komunisme yang membahayakan bangsa ini kedepan.
Sembilan tokoh inilah yang secara konsisten mengobarkan semangat oposisi. Mengisi ruang kritik dan kontrol yang sering ditinggalkan parlemen.
Tanpa mengabaikan peran dan pengaruh tokoh-tokoh lain, identifikasi kepada sembilan tokoh ini semata-mata karena mereka konsisten, berani, sangat tegas, dan punya pengaruh yang cukup kuat kepada masyarakat. Dan mereka bukan partisan. Dudu wong parpol.
Jumlah ini akan terus bertambah jika keadaan bangsa ini semakin memburuk. Memburuk hukum dan demokrasinya. Apalagi kalau semakin memburuk ekonominya.